Dua Jam di Pagi Pertama

Aku sudah mulai membayangkan bangun pagi di kamar lantai dua. Aku terbangun oleh sinar matahari pagi yang menyeruak di jendela kaca tanpa sehelai benang menghalaunya.

Mataku masih sedikit rapat seperti enggan untuk membuka. Rasanya seperti ada lem yang melekat erat. Badanku yang dingin mulai memberikan suhu hangatnya dari sinar matahari tadi. Selimut putih yang aku beli di Ikea itu aku seka sehingga dadaku terbuka. Iya, aku memang sedang tak pakai baju. Sengaja, agar supaya sedari pagi tubuhku bisa menyerap sinar matahari.

Tubuhku masih lemas, mungkin karena semalam aku terlalu menjadi budak. Seperti anak kecil yang baru menemukan sesuatu yang baru. Sesuatu yang membuat lupa waktu.

Tak lama kemudian,

Ada seorang wanita yang mendekatiku, berjalan teratur mendekati kasur yang sedari malam aku dan dia tiduri. Dia membawakanku sarapan, maksudnya sarapan kami.

Aku bergegas pergi ke kamar mandi untuk sekedar mencuci muka dan gosok gigi. Sebelum aku mengenalnya, aku tak pernah melakukan ritual yang membuatku selalu malas untuk melakukan. Aku mencintainya, sehingga aku melakukannya.

Sengaja aku ringkas ritual pagi yang menyebalkan itu supaya waktuku sedikit lebih banyak bersamanya.

Aku masih menggunakan celana pendek tanpa kaos seperti ketika aku bangun tadi pagi, dia masih dengan piyama yang aku beli, maksudku yang dia pilih untuk aku belikan. Kami sarapan dengan menggunakan pakaian demikian.


Dia mulai memberikan semangkuk alpukat yang sudah dicampur dengan gula merah dan sedikit susu kental coklat. Aku coba mengambil satu sendok alpukat yang sudah aku aduk, lalu ku makan. Dia pun masih dengan kunyahan pertamanya dari gigitan roti bakar blueberry kesukaannya. Terkadang tiga sendok alpukatku dioles di atas roti bakarnya.

Segelas susu low fat sudah siap untuk ku minum, tapi aku menyeruput teh melati yang tidak terlalu manis yang dia buat untuk dirinya. Dia hanya senyum ketika ku habiskan seperempat teh melati itu di cangkirnya. Segelas susu tadi aku teguk sekaligus setelah senyum dia memudar.

Mulut kami sudah tak lagi bekerja, semua alat makan sudah ditempatkan di atas meja dekat pintu kamar.

Pintu balkon sengaja ku buka supaya ada udara pagi yang asri memasuki kamar yang belum ku matikan lampu tidurnya. Udaranya segar sekali, anginnya tak begitu kencang pun tak begitu lembut. Cukup untuk memberikan sirkulasi udara di sekitar kamar dan sela hidung kami.

Kami berjalan ke luar menuju balkon, melihat kucing di bawah sinar matahari menggulung badan dan pundaknya di atas keset pintu rumah. Si zeppelin namanya. Kami tertawa kecil melihat tingkah anehnya.

Teruntuk dia, terima kasih telah menjadi segala bahagia di setiap cerita sederhana yang akan kita lalui di hari-hari lain nanti.

9 komentar

  1. Gue nggak tau Ndra mau komentar apa. Tapi aku suka kamu nulis kayak gini. Serius.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gue lagi eksperimen untuk nulis kayak gini-gini. Gue sebenernya tipe orang yang lebih nyaman nulis cerita naratif daripada deskriptif. Tapi gue berusaha untuk nyoba dan kayaknya bakal lanjut hehe.

      Thanks for appreciate! :))

      Hapus
  2. Ditunggu cerita sederhananya di hari-hari lainnya..:D

    BalasHapus
  3. Ceritanya renyaha kayak keripik pisang
    dan saya suka yg seperti ini
    di tunggu cerita2 selanjutanya om

    BalasHapus
  4. ceritanya bagus, memulai pagi dengan renyah

    BalasHapus

Terima kasih sudah membaca tulisannya. Silakan beri komentar yang sopan dan tidak mengandung SARA. Jangan lupa mampir lagi ke sini. Hatur nuhun