Belajar yang rajin, nak...


Pagi itu adalah pagi terakhir di hari liburan. Atmosfer hari libur masih menyeruak di setiap embun yang menetes di daun-daun pohon tetangga. Kegembiraan masih bersorak riang di lapangan sebuah kampung di kota kecil pagi itu. Begitupun dia, seorang anak laki-laki yang masih menikmati hari terakhir liburannya itu. 

Pagi hari dia awali dengan mencuci bajunya sendiri serta menjemurnya. Karena keluarganya menerapkan kedisiplinan serta tanggung jawab kepada semua anak-anaknya sedari dini. Setelah selesai, dia lekas berlari ke sebuah lapangan dekat rumahnya untuk segera menikmati hari terakhir liburan sekolah bersama teman-temannya.

Sore tiba, rona senja mulai menyapa, esok harinya dia harus segera masuk sekolah. Sekolahnya berada lumayan jauh, sekitar 200km dari rumahnya. Dia mondok pesantren, jadi tak harus menempuh perjalanan jauh dari pagi buta dan pulang saat senja tiba.

"Nak, sepertinya kamu belum bisa berangkat sore ini ke pesantren"
"Loh? kenapa pak? Besok kan sudah mulai sekolah"
"Bekal untuk makan sehari-hari kamu belum ada, nak. Mungkin esok hari ada. Sabarlah"
"Oh itu, Tidak apa-apa pak saya tak diberi bekalpun"
"Tidak, nak. Ayah ndak tega kamu gak makan disana"

Percakapan singkat tersebut berakhir ketika bapaknya lekas pergi dari rumahnya.

Keesokan harinya setelah embun mulai terkikis oleh sinar fajar, dia, anak laki-laki yang begitu semangat untuk segera mulai belajar mencari bapaknya untuk menagih janji. Bapaknya sedang di teras depan rumah, memutar-mutar ban sepedanya yang sepertinya sedang diperbaiki.

"Pak, gimana? berangkat kita hari ini?"
"Ayok nak! Kamu mandi sana, bereskan semua pakaianmu untuk di pondok sana nanti!"

Dia bergegas memenuhi perintah dari bapaknya.

Tak lama kemudian, mereka berdua siap untuk pergi ke pondok. Roda sepeda butut itu mulai berputar diatas kerasnya dunia. Berlalu menjauh dari kediamannya, menuju tempat yang mudah-mudahan menjadikannya penerang masa depannya.

Setengah jalan berlalu dengan sengatan matahari yang mulai mencubit kecil kulit hitam bapaknya yang mulai berkeringat. Kakinya mulai melemah mengayuh roda sepeda dan seketika itu bapaknya batuk sepertinya dia kecapean. Mukanya pucat pasih, bibir kering dan mata memerah. Anaknya memutuskan untuk naik angkutan umum saja. Tapi bapaknya menolak, bapak masih kuat kok, nak. Bapaknya mencoba menguatkan diri. Namun anaknya tak menghiraukan perkataan bapaknya. Tak lama kemudian, ayahnya memberi rupiah yang seharusnya digunakan untuk biaya hidup anaknya di pondok selama seminggu kedepan.

"Nak, kalo bapak tak mengantarkanmu ke pondok, uang ini tak akan cukup untuk bekalmu selama seminggu.."
"Tak apa pak, aku bisa puasa disana. Itu lebih baik"
"Yasudahlah, belajar yang rajin, nak..."

Dengan sisa tenaga, si bapak itu kembali memutar roda sepeda menuju rumahnya untuk segera istirahat. Semoga roda kehidupannya pun segera berputar oleh semangat anaknya itu.

8 komentar

  1. Hemm.. gue juga dulu pernah di pesantren

    BalasHapus
  2. gue gak tau rasanya di pesantren. yang gue pernah rasain cuman pesantren kilat sabtu minggu doang.. pffft

    BalasHapus
  3. Mengharukan :')
    memang sih, semua orang tua pasti ingin anaknya rajin belajar.. Cukup jadi renungan buat gue :)

    btw, nice post!

    BalasHapus
  4. Rajin pangkal pandai. semua orang tua tau itu :-D

    BalasHapus
  5. Pendidikan itu penting buat bekal kita di masa depan, karna gak semua orang bisa mendapatkan pendidikan ,maka bersyukurlah apa yg kita saat ini.. selamat menjalankan ibadah puasa bro,,

    BalasHapus
  6. mau dimana aja belajar asalkan itu membangun semangat

    BalasHapus
  7. aku jga belum pernah sekola pesantren

    BalasHapus

Terima kasih sudah membaca tulisannya. Silakan beri komentar yang sopan dan tidak mengandung SARA. Jangan lupa mampir lagi ke sini. Hatur nuhun